Oleh : KH. Muhammad Said AR (Pengasuh PP. MUS Sarang Rembang)
Di era reformasi ini, euforia pilkada seolah menjadi magnet kuat yang mampu menyedot perhatian masyarakat luas. Dari beberapa ajang kontestasi pilkada yang berjalan selama ini, selalu saja masyarakat terjebak dalam pertarungan yang menyesatkan. Dengan iming-iming uang dan janji-janji mengatas-namakan kesejahteraan, namun fakta dilapangan jauh dari kenyataan.
Jabatan Politik memang begitu prestisius serta menggiurkan, sehingga wajar saja bila jadi rebutan. Yang pada akhirnya melahirkan rivalitas diantara elite politik dan tokoh-tokoh masyarakat untuk saling berebut pada jabatan-jabatan publik seperti bupati.
Karena itu sekarang ini banyak orang bahkan kiai ada yang menganggap bahwa pilkada tidak ada kaitanya dengan agama dan hukum syari’at. Anggapan itu jelas salah, karena ajaran syari’at islam harus diperhatikan, harus diberlakukan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kenegaraan menurut kadar kemampuan, kecuali di negara kafir harby. Adapun ekses-ekses negative pilkada seperti yang disebutkan diatas itu bukan berarti tidak ada keharusan untuk memilih calon bupati yang paling taat syari’at, a’lam, dan aslah.
Memilih apapun dalam syari’at islam itu ada aturannya. Memilih hal yang kecilpun seperti memilih teman, memilih istri, diatur dalam syari’at. Apalagi memilih calon pemimpin seperti Bupati, jelas ada aturannya dalam syari’at. Dalam kitab fiqh dijelaskan semua jabatan publik baik yang wilayah kekuasaanya luas seperti Presiden, Gubernur, Bupati, atau wilayah kewenangannya terbatas, seperti Qodli, Qoyyim, Nadzir, dan sebagainya. Jabatan-jabatan publik ini harus dipegang oleh orang yang taat syari’at kalau memang sekarang sulit mencari tokoh yang taat syari’at, maka jabatan-jabatan tersebut harus dipegang oleh orang yang Aqollu Fisqon (; paling sedikit melanggar syariat )dan yang lebih pandai dalam permasalahan agama.
Karena itu jika ada orang alim (orang yang mengetahui ilmu agama) dan ada ghoiri alim (orang yang tidak mengetahui ilmu agama), maka kita wajib mendahulukan orang yang lebih tahu ilmu agama dalam penghormatan, memberi kedudukan, jabatan, menjadi imam sholat, dan lain-lainnya.
Syaikhul Islam Khoiruddin Ar Ramli dalam Fatawinya mengatakan : “ Bagi orang yang minim pengetahuan agamanya meskipun dari suku quraisy hukumnya haram mengajukan diri untuk bersaing dengan orang yang mumpuni ilmu agama karena allah tidak pernah membedakan diantara suku quraisy dengan yang lainnya ”. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
قل هل يستوى الذين يعلمون والذين لا يعلمون
“ Katakanlah: Apakah sama kedudukan mereka yang memiliki pengetahuan ilmu agama dan mereka yang tidak memiliki pengetahuan ilmu agama? “
Dan firman Allah yang lain:
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين أوتو العلم درجات
“ Allah akan mengangkat derajat hambanya yang beriman dan hambanya yang mempunyai ilmu agama “
Yang berhak mengangkat derajat hamba hanyalah allah, maka orang yang direndahkan allah akan direndahkannya.(Selesai)
Dan para ulama’ fiqh mengatakan: Bila kita dihadapkan pada pilihan calon, nomer satu calon yang tidak menguasai ilmu agama dan kurang ketaatan syariatnya sementara calon yang kedua cukup pandai penguasaan ilmu agama dan lebih taat syariat, dalam menentukan pilihan ini para ulama’ fiqh sepakat kita harus memilih calon yang nomer dua. Karena jabatan publik seperti Bupati kewajiban serta tanggungjawabnya sangatlah berat, dan semua kebijakannya harus maslahat dan harus amanah. Dan jika jabatan Bupati ini dipegang oleh orang yang lebih taat syariat dan lebih menguasai ilmu agama, maka dia akan lebih bertanggungjawab dan akan lebih amanah dan maslahah. karena ada dorongan dari agama yaitu dia harus taat syari’at dalam hal bertanggung jawab memimpin rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan.
Dan kenapa taat syari’at ini penting, karena Bupati harus menjadi tokoh panutan bagi rakyat dan bawahannya dalam hal akhlak, etika, dan perilaku keseharian ataupun perilaku dalam mengelola pemerintahan. Karena sebagian tugas seorang Bupati ialah memperbaiki moral masyarakat dan mencegah melakukan tindakan-tindakan negatif, seperti: adu domba, pertengkaran, miras, judi, narkoba dsb.
Bagaimana bisa seorang Bupati memperbaiki moral masyarakat secara maksimal, bila prilaku kesehariannya sendiri tidak baik. Dan prilaku keseharian seseorang bisa baik, apabila mempunyai karakter taat syari’at yang kuat, sehingga dia layak menjadi tokoh panutan masyarakat. Dan ketika Bupati menjadi tokoh panutan maka benar apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali :
“إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرأن”
Artinya : “Sesungguhnya Allah mencegah lewat kekuasaan hal-hal yang tidak bisa dicegah lewat Al-Qur’an”.
Karena itu pilihlah sosok bupati dengan kualifikasi lebih taat syari’at dan cukup penguasaan ilmu agama karena hal ini bagian dari perintah agama dan wujud dari ihya ‘ulum ad-din (menghidupkan ilmu agama) dalam wilayah kepemerintahan.
Di era otonomi daerah ini, jabatan Bupati banyak godaannya. Oleh karena itu, Bupati yang tidak mempunyai karakter taat syari’at yang kuat, maka jabatan Bupati ini dikhawatirkan hanya untuk kepentingan memperkaya diri. Dan perlu difahami bahwa ketaatan syari’at ini tidak hanya terbatas dalam masalah ibadah, tetapi masalah-masalah yang lain seperti dalam mengelola pemerintahan juga diatur dalam syari’at.
Karena itu, pejabat juga harus taat syari’at seperti harus bertanggung jawab, harus amanah, dan lebih memprioritaskan kepentingan rakyat fakir dan miskin. Dan perlu juga dimengerti, bahwa standar ketaatan syariat ini harus sampai menjadi sifat yang malakah, artinya menjadi tabiat, dengan sifat tabiat ini secara naluriyah dia akan takut dan lari menghindar dari larangan-larangan agama seperti korupsi, dan menyalahgunakan wewenang. Dan dengan sifat malakah tersebut mampu memunculkan dorongan hati yang kuat untuk menjalankan perintah-perintah agama, seperti berbuat kemaslahatan sepenuhnya untuk masyarakat, tidak hanya untuk kepentingan pengusaha yang mendekatinya.
Dan sosok Bupati yang demikian ini, saya yakin muncul dari alumni lembaga pendidikan karakter yang kuat yaitu pondok pesantren. Karena dia memiliki “rem” dan kendali yang kuat yaitu agama untuk tidak melanggar undang-undang negara maupun ajaran agama.
Kita dalam menanggapi sosok calon bupati harus bisa jernih, kita jangan apriori mendukung calon yang semestinya kita dukung. Karena hal ini, suatu permasalahan yang tidak bisa kita hindari karena kita dihadapkan pada penentuan pilihan yang harus kita pilih sesuai perspektif fiqh. Setelah menentukan pilihan dan mensosialisasikannya ala kadarnya pada orang terdekat kita, setelah itu terserah, bisa masuk ke wilayah dukung mendukung secara mendalam dan luas atau tidak, kalau dikhawatirkan menimbulkan kekecewaan karena calon yang didukung sudah terpilih ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh mereka. Tentunya hal ini bagi yang mendukung atas dasar ketulusan bukan untuk kepentingan pribadi.
Kita pantas bersyukur nantinya, jika di pilkada yang akan dilaksanakan nanti benar-benar mampu menghasilkan sebuah “harapan terbaik” dari mayoritas masyarakat Rembang. Lebih-lebih jika hal itu dilaksanakan dengan penuh kejujuran dan tidak ada kecurangan dan money-politik, walau hal ini sangat sulit untuk direalisasikan.
Sarang, 15 Rabiul Akhir 1442 H
30 November 2020 M